Mengenai Saya

Foto saya
Bima, NTB, Indonesia
Abdul Rauf Wahab DP, ST, MM., lahir ditangga, Bima 10 Maret 1972 dari pasangan Abd. Wahab Abdollah (alm) dan Siti Kalison. Setamat SMA/aliyah (1991) melanjutkan pendidikan S1 di Malang pada Fak Teknik sipil UNISMA Malang tamat 2008, setelah sempat kembali kedaerah dua tahun, ia melanjutkan kembali pendidikan S2 Manajemen di STIE Surabaya, Tamat tahun 2003. Sejak mahasiswa aktif diberbagai organisasi extra dan intra kampus ; Sekretaris HMJ SIPIL UNISMA (1993-1994), Menjadi Ketua BPM FT (1995), Pimpinan Umum Redaksi Majalah SCALE FT dua periode (1995-1997) Ketua HMI komisariat Unisma (1995-1996) Ketua LTMI HMI Cabang Malang(1995-1997) Bendahara umum HMI Cabang malang (1996-1997), Sekretaris umum HMI Cabang malang 1997-1998) Pengurus Pusat LDMI-PB HMI (1999). Tahun 1999 sempat menjadi editor buku tentang Bima “KITA TELAH BANGKRUT” yang merupakan tulisan para tokoh Bima. Tahun 2003-2005 menjadi sekretaris LSM Santira-Nusa yang didirikan Harun al-Rasyid di Mataram. Tahun 2005-sekarang mendirikan Koran lokal OBOR BIMA, dan Sejak Mei 2009 sekarang dipercaya menjadi Direktur Perencanaan KAPET BIMA.

Api Abadi Centra Idea

Selasa, 04 Oktober 2011

KAPET BIMA

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) dibentuk dengan KEPRES Nomor 89 Tahun 1996 yang kemudian disempurnakan dengan KEPRES Nomor 9 Tahun 1998.
Ditingkat operasional kegiatan KAPET dilakukan oleh Badan Pengelola KAPET yang diketuai oleh Gubernur yang dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dibantu oleh Wakil Ketua (WAKA) sebagai pelaksana harian, dan sesuai dengan PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRW), KAPET adalah salah satu wilayah strategis Nasional.


Jumat, 07 Januari 2011

PENGEMBANGAN KAWASAN TAMBORA

Gunung Tambora dengan ketinggian 2851 Meter di atas permukaan laut, adalah gunung berapi aktif yang berdiri tegak di Pulau Sumbawa. yang juga bagian dari kepulauan Nusa Tenggara. Para ahli Vulkanologi berpedapat bahwa sebelum letusan dahsyatnya pada tahun 1815 ketinggian puncak gunung Tambora   mencapai 4.300 m dpl, dan dipastikan sebagai salah satu puncak gunung tertinggi di seluruh nusantara setelah Puncak Jaya (Carstensz Piramid 4884 m dpl), (Volcanic Explosivity Index (VEI). Kini menjelang dua abad letusannya, Tambora semakin indah dan menjadi obyek penelitian berbagai kalangan. Banyak peneliti yang melakukan study dan penelitian tentang letusan, sejarah kegunung apian, pendakian, pencarian sisa peradaban Tambora, serta berwisata alam.
Kawasan Tambora dan sekitarnya sesungguhnya menyimpan pesona dan potensi untuk dikembangkan menjadi sektor unggulan. Beberapa sektor yang memungkinkan untuk dikembangkan di kawasan ini antara lain perkebunan, peternakan, pariwisata dan perikanan. Sektor perkebunan, disamping  Kopi, pengembangan tanaman Mente juga sangat memungkinkan. Sentra produksi Mente seluas 21.500 Ha dengan produksi rata-rata 13.000 Ton per tahun dan masih tersedia lahan seluas 17.000 Ha. Disamping Mente, peternakan Sapi juga sangat potensial dikembangkan di kawasan ini karena tersedia lahan penggembalaan dan pengembangan seluas 34.000 Ha dengan total populasi Sapi sebanyak 37.000 ekor.  Keindahan pulau Satonda dan wisata alam gunung Tambora yang telah masuk dalam kawasan strategis nasional sangat memungkinkan dengan rata-rata kunjungan wisatawan sebanyak 3.700 orang pada tahun 2009.Di sektor perikanan dan keluatan, budi daya rumput laut di teluk Saleh sangat memungkinkan dengan sentra produksi rata-rata 1.200 ton per tahun dan areal pengembangan sepanjang 110 km pantai. Kehidupan Di Lereng Tambora           
Pulau kecil ini bukan hanya indah, tapi juga penuh mitos dan legenda. Konon sejarah Bima bisa dilacak dari pulau ini karena Sang Bima, pendiri kerajaan Bima, sempat berlabuh di Satonda. Dia bertemu dengan seekor Naga bersisik emas. Naga itu ternyata jelmaan dari seorang Dewi dari kayangan. Dari sinilah, asal muasal keturunan raja-raja Bima.   Di lereng Tambora hidup masyarakat Bima dan Dompu maupun warga transmigran asal pulau Bali dan Lombok. Mereka tersebar di tiga kecamatan yaitu di kecamatan Pekat Kabupaten Dompu di sisi selatan, kecamatan Tambora di sisi barat dan Kecamatan Sanggar di sisi timur. Kecamatan Tambora dan Sanggar masuk dalam wilayah administratif kabupaten Bima. Wilayah Tambora merupakan wilayah terluas di kabupaten Bima maupun Dompu. Namun luas wilayahnya tidaklah sebanding dengan jumlah penduduknya yang masih sedikit. Banyak lahan-lahan kosong yang dijumpai sepanjang perjalanan menuju Tambora baik melalui lingkar selatan di wilayah Kempo, maupun di lingkat utara melalui Piong menuju Labuan Kananga. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk di kecamatan Sanggar sebanyak 11.838 jiwa, di kecamatan Tambora sebanyak 6.575 Jiwa. Kecamatan Pekat Dompu dengan luas wilayah sekitar 875, 17 Km2 ( Atau 37, 65 %) dari luas Kabupaten Dompu. Kecamatan Pekat berada pada ketinggian 20 meter di atas permukaan laut. Di wilayah ini terdapat 10 desa dan 61 dusun.  Mata pencaharian warganya adalah bertani dan berladang, bnerburu, pencari madu, serta nelayan. Warga transmigran yang sudah berbaur dengan penduduk setempat memanfaatkan lahan transmigrasi itu dengan menanam berbagai jenis buah-buahan serta sayur-sayuran. Luas Kecamatan Sanggar sekitar 72.000 Ha atau 16 porsen dari luas kabupaten Bima. Daerah ini adalah bekas kerajaan Sanggar yang pernah berjaya pada sekitar tahun 1500 sebelum letusan Tambora pada tahun 1815. Disamping dikenal sebagai daerah pegunungan dengan hasil madunya, Sangggar juga merupakan daerah pesisir dengan produksi ikan mencapai 20 ribu ton per tahun. Sedangkan nener mencapai 1 juta ekor per tahun. Untuk komoditi pertanian juga cukup besar berupa komditi padi, kedelai dan kacang tanah. Di Sanggar juga sangat cocok untuk pengembalaan ternak karena wilayah di sebelah baratnya hingga lereng Tambora terdapat padang Savana yang luas untuk pengembalaan. Sedangkan luas wilayah kecamatan Tambora 50.500 Ha.    Komoditi unggulan yang dikembangkan di wilayah ini antara lain asam, kemiri, jambu mete, kopi dan kelapa. Disamping itu, potensi peternakan di wilayah ini juga cukup besar seperti peternakan Sapi, kerbau, kuda, kambing, dan domba. Pesona Kawah Dan Puncak Tambora           
Puncak Tambora menawarkan pemandangan yang menakjubkan. Pendakian empat sampai lima hari menuju puncak terbilang satu perjalanan yang memikat. Melewati hutan primer kalanggo yang rapat dan berukuran raksasa menjadikan manusia bagaikan noktah kecil tak berarti. Menapak hutan palma dan rotan, menelusuri kawah gersang berupa pasir dan bebatuan kering gersang. Tiba di puncak mata menyapu sampai berbatas lengkung langit. Danau dua warna pada ketinggian 1.800 meter terbentang dalam permukaan tebing kaldera yang terjal hampir tegak lurus. Di bagian lain, mata mampu menangkap seluruh wilayah NTB sampai ke panorama yang membentuk lombok dengan puncak rinjaninya yang kokoh. Sumbawa dengan teluk saleh yang biru merangsang serta beberapa pulau- pulau kecil seperti Moyo dan Satonda lengkap dengan cantiknya laut flores di ujung yang lain. Kaldera Tambora bergaris 6 kilometer dan dalamnya 6 ratus sampai 7 ratus meter. Bagian dasar kaldera sebelah barat laut lebih tinggi dari yang lain. Yang tertinggi adalah di sebelah utara, ditutupi semak belukar. Sedangkan di bagian timur yang terendah terdapat danau seluas 800 x 200 meter dengan kedalaman mencapai 15 meter. Kopi Tambora     
Tambora tidak hanya dikenal dengan letusan dahsyatnya, namun kaya akan pesona dan komodii andalan yang sangat penting bagi pengembangan sosial ekonomi, pariwisata dan budaya serta sektor lainnya. Salah satu komoditi andalan di lereng Tambora adalah Kopi Tambora. Sejak Zaman Kolonial Belanda, banyak orang-orang Jawa yang dipekerjakan di areal perkebunan Kopi Tambora. Sehingga tidak mengherankan jika nama camp-camp di areal ini bernuansa Jawa seperti Afdelin Sumber Rejo dan Afdelin Sumber Urip. Perkebunan Kopi Tambora adalah kawasan perkebunan kopi yang terletak di lembah bagian Utara Gunung Tambora pada ketinggian tempat 700 meter dari permukaan laut. Merupakan Lahan Hak Guna Usaha (HGU) seluas 500 Ha. Dari luas tersebut baru 254 Ha, Besaran Ha dan Jembatan Besi 18 Ha, sedangkan 246 Ha masih dalam keadaan kosong. Selain tanaman kopi juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang seperti Bangunan prosesing 1 unit, lantai jemur 5 unit, perkantoran 1 unit, sarana ibadah 1 unit,sarana pendidikan 1 unit dan perumahan karyawan 31 unit. Pada awalnya perkebunan Kopi Tambora di kelola oleh PT. Bayu Aji Bima Sena (PT.BABS) Jakarta selaku pemegang Hak Guna Usaha (HGU) sesuai keputusan Mentri Dalam Negeri Nomor : 21/HGU/DA/77 tanggal 19 juni 1977 dengan memperkerjakan karyawan sebanyak 192 orang, namun sejak tahun 2001 PT. BABS tidak aktif lagi  mengelola kebun kopi tambora yang ditandai dengan ditinggalkan dan ditelantarkannya perkebunan kopi beserta aset dan karyawan yang ada di dalam nya. HGU PT. BABS berakhir pada tanggal 31 Desember 2001 dan tidak diperpanjang lagi sampai saat ini meskipun pihak PT. BABS pernah mengajukan perpanjangan HGU pada tanggal 8 maret 2002. Sejak tahun 2002 Pengelolaan Perkebunan Kopi Tambora diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bima (melalui Dinas Perkebunan Kab.bima)  dalam rangka penyelamatan asset perkebunan dan karyawan agar tidak hilang mata pencahariannya. Biaya pengelolaan kebun kopi tambora bersumber dari APBD Kab. Bima dan APBN. Pada saat pengambilan alihan keadaan perkebunan Kopi Tambora sangat memperihatikan. Tanaman Kopi yang produktif hanya 80 Ha dari luas tanaman 254 Ha. Produktif kopi hanya sekitar 150 kg per hektar. Terjadi penjarahan hasil produksi kopi oleh masyarakat sekitar. Tuntutan biaya hidup oleh karyawan yang ditelantarkan PT.BABS. Sedangkan Karyawan yang bertahan hanya tinggal 63 orang. Setelah diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Bima (Dinas Perkebunan Kab. Bima), keadaan perkebunan kopi tambora dari tahun ke tahun semakin membaik. Luas tanaman kopi yang produktif berkembang menjadi 146 Ha pada 3 blok yaitu : Sumber Rejo 52 Ha, Sumber Urip 29 Ha, Besaran 65 Ha. Produksi kopi menjadi 450 kg/Ha. Penyerobotan lahan dan penjarahan  hasil kopi  dapat ditekan.Total produksi kopi yang dapat dihasilkan sekitar 30-40 ton pertahun. Pemasukan PAD antara Rp. 200 juta – Rp. 300 juta per tahun (tergantung hasil produksi). Karyawan yang bekerja tinggal 47 orang, sedangkan 13 orang mengundurkan diri karena alih pekerjaan. Perkebunan Kopi Tambora harus terus dibangun karena banyak hal yang perlu dibenahi.  Di antaranya,  populasi tanaman belum memenuhi standar teknis. Populasi kopi hanya 300-600 phn/ha, sedangkan idealnya adalah 1.000 – 1.100 phn/ha,sehingga berpengaruh  pada tingkat produktivitas kopi yang hanya 450 kg/ha dari yang seharusnya 1.000 kg/ha. Tanaman kopi sebagian besar sudah tua sehingga perlu direhabilitasi agar produktivitasnya meningkat. Dari 83. 487 pohon kopi yang sudah tua, baru 32.803 pohon yang berhasil direhabilitasi. Kawasan perkebunan kopi tambora sesuai HGU seluas 500 Ha perlu dipertegas batas – batasnya  dan di lakukan pemetaan kembali agar tidak diserobot oleh masyarakat sekitarnya. Gedung dan sarana prosesing sudah cukup tua sehingga perlu direnovasi agar fungsinya dapat lebih optimal lagi. Perlu dilakukan penambahan baku luas areal pertanaman kopi pada lahan yang masih kosong guna meningkatkan produksi dan produktivitas lahan. Kopi dari pegunungan Tambora yang berakar dari sejarah dan nama besar Gunung Tambora sudah selayaknya dikembangkan dan dipromosikan dalam kemasan-kemasan kopi bubuk yang berlabel KOPI TAMBORA. Sehingga akan menjadi produk dan komoditi unggulan bagi daerah, sekaligus icon bagi Bima. Pengembangan Jambu Mete       
Kawasan Tambora dan sekitarnya sesungguhnya menyimpan pesona dan potensi untuk dikembangkan menjadi sektor unggulan. Beberapa sektor yang memungkinkan untuk dikembangkan di kawasan ini antara lain perkebunan, peternakan, pariwisata dan perikanan. Sektor perkebunan, disamping  Kopi, pengembangan tanaman Mente juga sangat memungkinkan. Sentra produksi Mente seluas 21.500 Ha dengan produksi rata-rata 13.000 Ton per tahun dan masih tersedia lahan seluas 17.000 Ha. Jambu mete merupakan tanamnan buah berupa pohon yang berasal dari Brasilenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut Portugis ke India 425 tahun yang lalu,kemudian menyebar ke daerah tropis dan subtropis lainnya seperti Bahana, Senegal,Kenya, Madagaskar, Mozambik, Srilangka, Thailand, Malaysia, Filipina, danIndonesia. Di antara sekian banyak negara produsen, Brasil, Kenya, dan India merupakan negara pemasok utama jambu mete dunia.Tanaman jambu mete merupakan komoditi ekspor yang banyak manfaatnya, mulai dari akar, batang, daun, dan buahnya. Selain itu juga biji mete (kacang            mete) dapat digoreng untuk makanan bergizi tinggi. Buah mete semu dapat diolah menjadi beberapa bentuk olahan seperti sari buah mete, anggur mete, manisan kering, selai mete, buah kalengan, dan jem jambu mete. Kulit kayu jambu mete mengandung cairan berwarna coklat. Apabila terkena udara, cairan tersebut berubah menjadi hitam. Cairan ini dapat digunakan untuk bahan tinta, bahan pencelup, atau bahan pewarna. Selain itu, kulit batang pohon jambu mete juga berkhasiat sebagai obat kumur atau obat sariawan. Batang pohon mete menghasilkan gum atau blendok untuk bahan perekat buku. Selain daya rekatnya baik, gum juga berfungsi sebagai anti gengat yang sering menggerogoti buku. Akar jambu mete berkhasiat sebagai pencuci perut. Daun Jambu mete yang masih muda dimanfaatkan sebagai lalap, terutama di daerah Jawa Barat. Daun yang tua dapat digunakan untuk obat luka bakar. KTM Tambora    
Kabar menggembirakan untuk masyarakat Tambora dan sekitarnya, mulai tahun 2010 Kota Terpadu Mandiri Tambora dimulai. Program lintas sektor tersebut menelan dana lebih kurang 1 triliun rupiah yang akan dikucurkan secara bertahap selama 5 tahun. Dan pada tahun 2010, Pemerintah Pusat mengucurkan 50 milyar rupiah untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, dermaga, pasar, kantor KRM, sarana kesehatan dan lain-lain. Tambora harus terus berbenah menyongsong hari esok. Bisa jadi melalui program KTM yang multi sektor ini, penggalian artefak dan sisa-sisa peradaban Tambora akan dilakukan. Hal ini akan menguak tabir seperti apa peradaan Tambora di masa lalu. Pencanangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) Labangka dan Tambora dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Muhaimin Iskandar  Nopember 2009. Obsesi untuk merealisasikan KTM Tambora ini telah dimulai dengan penyusunan Master Plan oleh Pemerintah Daerah  dengan memilih  desa Kawinda To’i dan Oi Panihi sebagai  pusat pertumbuhan dimana pada tahap awal akan dibangun sarana jalan boulevard, tuko, kawasan produksi agro bisnis, dermaga, pasar dan fasilitas umum lainnya. Dengan adanya KTM Tambora ini, proses berkembangnya pemukiman transmigrasi yang biasanya memerlukan waktu 25-30 tahun bisa dipersingkat menjadi 10-15 tahun. Realisasi pembangunan KTM kawasan transmigrasi Tambora dirancang menjadi Pusat Pertumbuhan setelah melalui beberapa tahapan penting antara lain survei yang dilakukan Tim dari Pemerintah Pusat yang  diterjunkan ke kawasan Sanggar dan Tambora. Sebagai sebuah terobosan baru untuk  menekan tingkat pengangguran di Kabupaten Bima kawasan ini diharapkan akan berfungsi optimal dalam pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan yang mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan pertanian berupa pengolahan barang pertanian. Pemerintah daerah menyadari sepenuhnya, suatu kota tidak mungkin terwujud tanpa didukung kegiatan usaha/ ekonomi daerah belakangnya, demikian juga untuk menumbuhkan atau mewujudkan Kota Terpadu Mandiri (KTM) perlu didukung oleh kegiatan usaha transmigran yang berada di belakangnya. Oleh karena itu  KTM perlu melakukan pembangunan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) sebagai pusat koleksi, pengolahan hasil, distribusi dan jasa dari unit pemukiman transmigrasi dan desa  desa sekitar dalam satu satuan ekonomi wilayah. Satonda Yang Eksotik      
Dari puncak Gunung Tambora, pandangan mata  lebih leluasa pemandangan kawah, padang pasir, samudra lautan, dan Pulau Satonda. Pulau Satonda sangat indah dengan pemandangannya yang masih alami, di tengah-tengah pulau tersebut terdapat danau yang jernih dan dikelilingi oleh tebing-tebing dari perbukitan yang masih alami. Pulau Satonda dengan ketinggian antara 0 sampai 300 meter di atas permukaan laut merupakan taman rekreasi (recreation park) dengan wilayah seluas 1.000 Ha mempunyai ciri-cirinya yang unik. Kenapa dinamakan Satonda ? ada dua versi tentang ini. Yang pertama Maka pulau tersebut dinamai Pulau Satonda dari kata tonda yang berarti tanda/jejak karena jarak pulau ini dengan daratan cukup dekat sehingga dinamakan satonda atau selalangkah. Kedua, Pulau tersebut dapat dilihat dari puncak Gunung Tambora, tampak dari atas berbentuk telapak kaki kanan manusia, sehingga disebut dengan nama Satonda. Sekarang pulau tersebut telah menjadi kawasan yang dilindungi (strict nature reserve). Pulau Satonda sangat baik untuk menjadi tempat untuk mempelajari hutan, karena hutan di pulau tersebut hancur akibat letusan Gunung Tambora pada tahun 1815, Juga banyak ditemukan jenis-jenis ikan yang baru dan hanya ditemukan di Danau Satonda. Pulau tersebut menjadi habitat sejumlah besar jenis-jenis burung yang dilindungi. Kesemua keindahan alam yang menjadi satu kesatuan menciptakan suatu fenomena indah, unik.

Tiga Wilayah Satu Budaya

Sekilas Tentang Masyarakat Bima- Dompu
Daerah Bima (Mbojo ) dan Dompu didiami oleh dua kelompok penduduk asli, yaitu Dou Mbojo( Suku Mbojo=orang Bima) dan Dou Donggo(Suku Donggo). Menurut para sejarahwan dan antropolog budaya, bahwa Dou Mbojo dan Dompu berasal dari kelompok masyarakat hasil pembauran penduduk asli dengan kaum pendatang dari Sulawesi Selatan terutama dari Makassar. Proses pembauran itu berlangsung sejak zaman Kerajaan sampai zaman kesultanan (Abad 11 hingga awal abad 20). Pernikahan silang antara penduduk asli dengan suku Makassar berlangsung pada masa pemerintahan Raja Manggampo Donggo awal abad 16 M sampai akhir masa pemerintahan Sultan Abdullah pada tahun 1868 M.

Sedangkan suku Donggo adalah kelompok penduduk asli yang bermukim di pegunungan dan dataran tinggi di sebelah barat dan tenggara teluk Bima yang dikenal dengan Donggo Ipa dan Donggo Ele. Orang Donggo Ipa bermukim di sebelah barat teluk Bima di gugusan pegunungan Soromandi. Sedangkan Donggo ele bermukim di sekitar pegunungan La Mbitu.

Kelompok Masyarakat hasil pembauran inilah yang merupakan cikal bakal suku Bima dan Dompu. Dalam perkembangannya mereka menjadi penduduk mayoritas di daerah Bima dan Dompu. Selain sebagai petani, mereka juga menjadi pelaut. Mereka gemar merantau untuk mencari nafkah dan menuntut ilmu. Mereka juga terkenal sebagai orang-orang yang ulet, berani dan taat pada agama Islam.

Masyarakat Bima-Dompu memiliki kebudayaan yang hampir sama dengan kebudayaan suku Makassar dan Bugis. Adat Istiadat, bahasa dan seni mereka sangatlah mirip. Demikian pula dengan alat kelengkapan hidup seperti rumah, senjata dan pakaian adatnya. Sebagai masyarakat yang taat kepada agama Islam, maka kebudayaan termasuk adat Istiadatnya berpedoman pada hukum Islam. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Masyarakat Bima dan Dompu berasal dari asal usul Budaya yang sama, mulai dari Bahasa, Adat Istiadat, agama yang dianut,sistim kekerabatan, seni budaya dan pola hidupnya.

Kota Di Tepi Teluk

Kota Bima terletak di tepi Teluk Bima. Secara geografis Kota Bima terletak di pulau Sumbawa bagian timur pada posisi 118* 41’00 bujur timur dan 8*30’00 lintang selatan dengan batas wilayah sebelah utara kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima, Sebelah Timur Kecamatan Wawo Kabupaten Bima, Sebelah selatan Kecamatan Palibelo Kabupaten Bima dan sebelah barat Teluk Bima. Luas wilayah Kota Bima adalah 222,25 Km2 yang terbagi dalam lima kecamatan yaitu kecamatan Rasanae Barat, Kecamatan Asa Kota, Kecamatan Mpunda, Kecamatan Rasanae Timur dan Kecamatan Raba.

Berdasarkan hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk 2010, diperoleh
jumlah penduduk Kota Bima adalah 142.443 orang, yang terdiriatas 69.841 laki-laki dan 72.602 perempuan. Dilihat sebaran penduduk,Kecamatan Raba mempunyai penduduk paling tinggi yaitu 34.756 orang; disusul
Kecamatan Mpunda 32.531 orang; Kecamatan Rasanae Barat 31.039 orang; KecamatanAsakota 27.931 orang; dan terandah adalah Kecamatan Rasanae Timur 16.196 orang.
Perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan (Sex Ratio) hasil Sensus
Penduduk 2010 Kota Bima adalah sebesar 96,20 persen, artinya jumlah penduduk
perempuan lebih tinggi 3,80 persen dibanding jumlah penduduk laki-laki. Dari 5 (lima) kecamatan yang ada sebagaian besar sex rationya dibawah 100 persen. Hanya
Kecamatan Asakota yang mempunyai sex ratio lebih dari 100 persen sebesar 101,19persen. Kecamatan yang mempunyai sex ratio terendah adalah Kecamatan Mpunda sebesar 89,95 persen. Artinya, penduduk perempuan di Kecamatan Mpunda lebih tinggi 10,05 persen dibandingkan penduduk laki-laki.Mata Pencaharian Penduduk Kota Bima didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharian jasa kemasyarakatan yaitu 27,95 %, perdagangan Hotel dan Restaurant 23,34 %, pertanian 15,87 % dan pengangkutan, pergudangan dan komunikasi 14,15 %.

Terbentuknya Kota Bima telah melalui serangkaian proses dan perjuangan panjang yang diawali dengan penjaringan aspirasi masyarakat melalui beberapa konsultasi public yang dilaksanakan oleh DPRD Kabupaten Bima dan kalangan perguruan tinggi di Bima. Kemudian Bupati Bima membentuk tim tehnis Peningkatan Status Pemerintah kota Administratif Bima yang bertugas melaksanakan kajian dan study kelayakan tentang persiapan daerah Kota Bima. Hasil tersebut, Bupati Bima mengeluarkan surat kepada DPRD untuk mendapatkan persetujuan. Dan pada tanggal 22 Pebaruari 2001 DPRD Kabupaten Bima mengeluarkan Keputusan Nomor 3 Tahun 2001 tentang Persetujuan Peningkatan Status Kota Administratif Bima menjadi Pemerintah Kota Bima. Proses demi proses dilakukan dan klimaksnya terjadi pada tanggal 10 April 2002, DPR RI mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Kota Bima Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Peluang Dan Potensi Menanti

Kota Bima mempunyai potensi sumber daya alam yang didukung kondisi lahan dan iklim yang cocok untuk pengembangan pertanian. Potensi-potensi yang ada tersebut mendukung program-program yang dikembangkan di sector tanaman pangan, perkebunan dan peternakan guna menciptakan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi masyarakat. Komoditas Utama tanaman pangan kota Bima adalah Padi, Jagung dan kedelai. Namun seiring perkembangan waktu, perlu dicermati pula penggunaan lahan pertanian untuk pemukiman dan perumahan. Harus ada kebijakan untuk menetapkan Lahan Abadi Hijau untuk terus mendukung eksistensi pangan di kota Bima.
Kota Bima juga memiliki potensi di sector kehutanan. Meskipun saat ini kondisi kawasan hutan sebagian berada pada kondisi kritis.Keberadaan Hutan memegang peranan penting dalam menjaga ekosistim disamping sebagai penyangga kehidupan masyarakat. Letaknya yang berada di pinggir teluk Bima, menjadikan Kota Bima juga memiliki Potensi sector perikanan dengan keberadaan wilayah pesisir laut yang dimiliki. Produksi perikanan budidaya pada tahun 2008 mencapai 553,10 ton yang terdiri dari budidaya tambak 508,50 ton, kolam/keramba 43.000 ton. Produk perikana yang berasal dari penangkapan laut 1.053.10 ton dan perairan umum 11.60 ton. Selain produksi ikan, produksi kelautan lainnya adalah rumput laut dengan luas 5 ha dan produksi rumput laut basah 38,40 ton.
Di bidang perhubungan dan transportasi, Kota Bima memiliki posisi yang strategis dalam pergerakan manusia dan barang, baik yang berskala regional maupun nasional. Pelayanan transportasi darat dan laut melayani mobilitas antar pulau. Transportasi darat dengan angkutan Bus melayani route antar kota dalam propinsi dan antar propinsi dengan tujuan kota-kota besar di pulau Jawa seperti Surabaya, Semarang dan Jakarta. Untuk pelayanan transportasi laut terdapat pelabuhan Bima yang dikelola oleh PT.Pelindo III Cabang Bima dengan route pelayaran antar pulau seperti Jawa, Sulawesi dan Kalimantan.
Sektor Industri mempunyai peranan penting dalam kegiatan prekonomian. Industri yang ada di Kota Bima merupakan industri kecil dengan jumlah unit usaha sebanyak 768 unit dan menyerap tenaga kerja 1.959 orang. Jumlah industri yang dirinci menurut jenis kerajinan adalah industri kayu sebanyak 228 unit, Logam/Logam mulia sebanyak 113 unit, kain tenun 31 unit, makanan 230 unit, dan lain-lain jenis usaha masyarakat sebanyak 166 unit. Sementara itu, jumlah industri Rumah Tangga sebanyak 768 unit dan jumlah tenaga kerja sebanyak 2.959 orang.
Dari peluang dan potensi yang dipaparkan di atas yang paling berpeluang untuk dikembangkan kedepan adalah sector Industri dan Jasa. Karena posisi strategis Kota Bima telah lama dijadikan kota transit bagi kaum pendatang dari tiga titik yaitu Bali di sebelah barat, NTT di sebelah timur dan Sulawesi di sebelah utara. Pemberdayan dan penguatan pengembangan Industri kecil menengah seperti makanan dan kerajinan perlu dioptimalkan disamping sector lainnya seperti pariwisata, pertanian agro dan sector-sektor lainnya.

Selayang Pandang Kabupaten Bima
Kabupaten Bima merupakan salah satu daerah otonom di propinsi Nusa Tenggara Barat, terletak di ujung timur pulau Sumbawa tepatnya pada posisi 70-30 lintang selatan dan 117-30 bujur timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores
- Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia
- Sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Dompu
- Sebelah timur berbatasan dengan Selat Sape
Luas wilayah Kabupaten Bima adalah 437,465 Ha atau 4.394, 38 Km 2 atau sama dengan 22,10 % dari wilayah Propinsi NTB, terdiri dari 18 kecamatan, 168 desa dan 419 dusun. Secara umum topografi Kabupaten Bima berbukit-bukit. Setiap wilayahnya mempunyai topografi yang cukup bervariasi dari datar hingga bergunung-gunung dengan ketinggian antara 0 -477,50 meter di atas permukaan laut.
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010(SP 2010), jumlah penduduk kabupaten Bima adalah 438.522 orang, yang terdiri dari 218.280 laki-laki dan 220.242 perempuan. Kecamatan Sape merupakan kecamatan yang mempunyai penduduk terbanyak yakni sebesar 53.128 orang ( 12,11 Porsen), terbanyak kedua dan ketiga adalah kecamatan Bolo dan Woha yakni masing-masing sebesar 44.276 orang (10,10 Porsen) dan 43.868 orang (10.01 Porsen). Sedangkan
Kabupaten Bima beriklim tropis dengan musim hujan yang relative pendek yakni dari bulan Desember sampai dengan Maret. Sedangkan berdasarkan data kependudukan tahun 2007, penduduk Kabupaten Bima berjumlah 410. 322 jiwa, terdiri dari laki-laki 209.933 jiwa dan perempuan 200.389 jiwa.
Keadaan alamnya yang begitu indah, masyarakatnya yang ramah dan keunikan budaya lokalnya yang beranekaragam serta posisinya yang berada pada jalur segitiga emas daerah tujuan wisata Bali, Tanah Toraja dan Komodo telah menempatkan Kabupaten Bima sebagai daerah yang menyimpan sejuta pesona untuk dikunjungi para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.

Selayang Pandang Bumi Nggahi Rawi Pahu

Daerah Dompu berada di pulau Sumbawa bagian tengah, terletak diantara 117o42I – 118o30I Bujur Timur dan 8o6I – 9o 05I Lintang Selatan, dengan batas wilayah :
Di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa
Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bima
Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores dan Kabupaten Bima
Di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia
Pada masa sekarang luas wilayah Kabupaten Dompu 2.324,55 km termasuk Pulau Satonda yang statusnya masih dipersoalkan oleh Pemerintah Kabupaten Bima.
Dalam perkembangannya luas wilayah Dompu mengalami perubahan. Sebelum meletusnya Gunung Tambora tahun 1815 wilayah Pekat masih merupakan kerajaan tersendiri. Setelah Kerajaan Pekat musnah akibat meletus Gunung Tambora, maka wilayah Pekat menjadi wilayah Kesultanan Dompu.

Keadaan Alam

Sejak masa lalu daerah Dompu tersohor karena kesuburan dan kemakmurannya. Gunung-gunungnya selalu menghijau sepanjang waktu, ditumbuhi hutan lebat serta dihuni oleh beraneka ragam fauna seperti menjangan, kuda, kerbau dan lebah madu. Semua hasil hutan itu menjadi barang yang laris dalam percaturan niaga di wilayah Nusantara.
Selain sebagai sumber hasil alam, gugusan gunung yang mengelilingi daerah Dompu, merupakan sumber mata air yang amat berguna bagi kepentingan irigasi. Dari sumber mata air itu, terdapat banyak sungai yang akan mengalirkan air ke lahan pertanian yang subur dan luas terbentang antara kaki-kaki bukit.
Keadaan alam yang subur menjadikan Dompu sebagai salah satu daerah gudang beras di wilayah Nusa Tenggara bahkan di wilayah Indonesia bagian Timur.
Kekayaan alamnya yang melimpah inilah yang menyebabkan Dompu sering diserang dan diancam kedaulatannya oleh kerajaan-kerajaan lain pada masa lalu, seperti yang dilakukan oleh Majapahit pada Tahun 1357.
Pada akhir-akhir ini, kesuburan daerah Dompu kian berkurang. Kedudukannya sebagai daerah gudang beraspun mulai goyah. Semua ini terjadi karena ulah manusia. Gunung-gunung yang berhutan lebat dan menghijau sepanjang waktu, sebagai sumber kekayaan alam, kini wajahnya sudah berubah menjadi gunung tandus ditumbuhi ilalang. Sungai-sungai pun sudah tidak berair lagi, sawah-sawah yang terbentang luas semakin gersang dan luasnya pun kian berkurang karena banyak yang dialihfungsikan sebagai daerah pemukiman.

Asal Mula Gunung Tambora

ASAL mula nama Gunung Tambora menurut cerita turun temurun ada dua versi, yaitu: Pertama, berasal dari kata lakambore dari bahasa Bima yang berarti mau ke mana, untuk menanyakan tujuan bepergi

an kepada seseorang. Kedua, dari kata ta dan mbora, dari bahasa Bima, kata "ta" yang berarti mengajak, dan kata "mbora" yang berarti menghilang, sehingga arti kata Tambora secara keseluruhan yaitu mengajak menghilang.
Ini berasal dari cerita turun temurun, dahulu ada seseorang sakti yang pertama kali ke gunung tersebut (sekarang Gunung Tambora), bertapa dan tidak diketemukan lagi karena telah menghilang di gunung tersebut. Kalau istilah bahasa Jawa-nya moksa, yaitu menghilang jasadnya secara tiba-tiba dan bisa dilihat oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan dalam melihat roh halus. Kemudian orang sakti yang menghilang tersebut pernah menampakkan diri di sebuah pulau yang terletak di sebelah barat laut Pulau Sumbawa juga dapat terlihat dari puncak Gunung Tambora. Maka pulau tersebut dinamai Pulau Satonda dari kata tonda yang berarti tanda/jejak kaki. Pulau tersebut dapat dilihat dari puncak Gunung Tambora, tampak dari atas berbentuk telapak kaki kanan manusia. Pulau Satonda sangat indah dengan pemandangannya yang masih alami, di tengah-tengah pulau tersebut terdapat danau yang jernih dan dikelilingi oleh tebing-tebing dari perbukitan yang masih alami. Diduga danau di Pulau Satonda tersebut mempunyai terowongan dari gua bawah laut menyambung dengan laut. Pulau Satonda dengan ketinggian antara 0 sampai 300 mdpl merupakan taman rekreasi (recreation park) dengan wilayah seluas 1.000 Ha mempunyai ciri-cirinya yang unik.
Sekarang pulau tersebut telah menjadi kawasan yang dilindungi (strict nature reserve). Pulau Satonda sangat baik untuk menjadi tempat untuk mempelajari hutan, karena hutan di pulau tersebut hancur akibat letusan Gunung Tambora pada tahun 1815. Juga banyak ditemukan jenis-jenis ikan yang baru dan hanya ditemukan di Danau Satonda saja. Pulau tersebut menjadi habitat sejumlah besar jenis-jenis burung yang dilindungi. Kesemua keindahan alam yang menjadi satu kesatuan menciptakan suatu fenomena indah, unik.
Pesona alam di Gunung Tambora makin menambah keelokan panorama alam Indonesia. Kita semua wajib untuk mengenali dan melestarikannya. Alam Indonesia menjadi obyek penelitian yang sangat menarik oleh para ilmuwan.
Bernice De Jong Boers, ilmuwan asal Denmark dalam makalah revisinya bertajuk "Mount Tambora in 1815: “A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath" menggambarkan, Pulau Sumbawa sebelum meletusnya Gunung Tambora sebetulnya dalam keadaan cukup baik secara ekonomi. Jauh sebelumnya, di Sumbawa jauh lebih lebat hutannya. Ketika orang pertama datang, sebagian dari hutan ditebang untuk berladang.
Sekitar tahun 1400, orang- orang Jawa memperkenalkan cara bertanam padi di sawah dan mulai mengimpor kuda. Semakin lama jumlah penduduk berkembang. Orang mengandalkan hidup terutama dari beras, kacang hijau, dan kuda. Sementara dari perkebunan orang mengandalkan kopi, lada, dan kapas yang bisa tumbuh subur.
Di kawasan itu telah terdapat pula hubungan dagang. Pada masa itu Kerajaan Bima umumnya terbuka dari dunia luar. Dari segi ekonomi, perniagaan merupakan penghasilan utama dengan komoditas ekspor utama sebelum 1815 ialah beras, madu, kapas, dan kayu merah.
Setelah Tambora meletus, kesejahteraan yang terbangun itu runtuh. Saat itu terdapat enam kerajaan kecil di Pulau Sumbawa. Syair Kerajaan Bima menyebutkan dua kerajaan punah terkubur, yakni Pekat dan Tambora. Jauh setelah kejadian, muncul berbagai spekulasi bahwa terdapat istana kerajaan yang terpendam dengan beragam kekayaan. Apalagi dari penggalian yang dilakukan Sigurdsson dari Universitas Rhode Island, AS, dan tim dari Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sempat ditemukan keramik-keramik yang diperkirakan bermotif Vietnam. Muncul pula dugaan hidupnya orang-orang berbahasa Mon-Khmer, bahasa yang tidak lazim dituturkan di Nusantara.
Asumsi-asumsi tersebut diragukan Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, yang sempat mengunjungi lokasi penggalian Sigurdsson. "Istilah kerajaan di luar Pulau Jawa tidak dapat disamakan dengan kerajaan besar di Jawa yang kaya raya. Jadi, jangan dibayangkan istana kerajaan seperti istana raja-raja di Jawa. Selain itu, temuan keramik yang mempunyai kesamaan dengan tembikar dari kawasan Indocina bukan berarti menandakan hidup populasi pendukung budaya Khmer. Tembikar itu sepertinya buatan China dan dapat saja sampai di Tambora karena adanya perdagangan," kata Bambang. Dia menyayangkan penelitian tersebut tidak melibatkan para arkeolog.
Setelah letusan, keadaan di sekitar Tambora—terutama di Bima—pun berbalik. Tanah yang tak dapat ditanami selama lima tahun membuat kelaparan dan kemelaratan berkepanjangan.
Kini, berjalan di lereng Tambora, tentu berbeda suasananya. Rumput tebal mengisi permukaan tanah, yang hampir dua abad lalu berselimut abu vulkanik. Lereng gunung itu menghijau, dengan hutan serta semak yang rimbun. Tanah telah kembali memberi berkah. Sebagian besar penduduk di lereng Tambora hidup dari pertanian dan perkebunan. Ada pula yang menjadi pemandu naik gunung.

Pesona Walet